.

Ngisor Asem : Arsitektur Permukiman di Kawasan Pecinan Semarang

Merah Simbol Kemakmuran dan Keberuntungan

SEBAGAI kawasan kuno yang telah mengalami dinamika dalam aktivitas ekonomi, politik, sosial dan budaya, Kawasan Pecinan Semarang memiliki makna penting dalam sejarah perkembangan kota. Banyak hal yang telah berubah dari kawasan Pecinan, tetapi banyak pula yang tidak. Bangunan-bangunan ibadah dan aktivitas budaya masyarakat diupayakan lestari. Tempat ibadah berupa kelenteng merupakan salah satu unsur bu­daya yang dapat menjadi identitas dan menguatkan eksistensi ma­sya­rakat Cina di Pecinan Se­marang. Kebanyakan rumah terdiri atas dua lantai dan mempunyai teras di depan. Pintu dan jendela be­sar-besar dengan aneka lang­gam. Ada yang Cina, ada yang Barat. Untuk gaya Cina, pintu dan jendelanya berjeruji kayu tebal dan berukir. Sementara gaya Barat menyajikan panel kaca yang dihiasi ornamen dari terali besi. Penulis buku Chinese Architecture in The Straits Settlements and Western Malaya, David G. Khol mengatakan, ciri-ciri dari arsitektur warga Tionghoa yang ada terutama di Asia Tenggara adalah adanya ruang terbuka pada rumah warga Tionghoa. Rumah-rumah warga Tionghoa di Indonesia yang ada di daerah Pecinan jarang mempunyai courtyard.  Courtyard pada arsitektur Tionghoa di Indonesia biasanya diganti dengan teras-teras yang cukup lebar. ”Diantara semua bentuk atap, hanya ada beberapa yang paling banyak di pakai di Indonesia. Diantaranya jenis atap pelana dengan ujung yang melengkung ke atas yang disebut sebagai model Ngang Shan,” jelasnya.

Detail Konstruktif
Detail konstruktif seperti penyangga atap (tou kung), atau pertemuan antara kolom dan balok, bahkan rangka atapnya dibuat sedemikian indah, sehingga tidak perlu ditutupi. Bahkan rangka ini diperlihatkan polos, sebagai bagian dari keahlian pertukangan kayu yang piawai. ”Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik,” kata dia. Meskipun banyak warna yang digunakan, merah dan kuning keemasan paling banyak dipakai dalam arsitektur Tionghoa di Indonesia. Merah menyimbolkan warna api dan darah, yang dihubungkan dengan kemakmuran dan keberuntungan. Selain itu merah juga simbol dari kebajikan, kebenaran dan ketulusan, serta sesuatu yang positif. Itulah mengapa sering dipakai dalam arsitektur Tionghoa,” paparnya. Sayangnya, bangunan kuno berarsitektur Cina bisa dibilang sudah terkikis. Kini bisa dihitung dalam hitungan jari. Rumah-rumah dengan desain ala negera Tirai Bambu tergantikan dengan rumah bergaya modern. Menurut pemilik toko ”Cahaya Bintang” di Gang Warung, Richard (59), perubahan tersebut terjadi pada masa Orde Baru. Cukup banyak bangunan kuno bergaya Cina dirobohkan dan dibangun dengan bentuk yang modern. ”Ciri arsitektur yang kuat masih bisa ditemui di Gang Gambiran, Gang Besen, dan Gang Tengah,” katanya.
Gang Warung dan Gang Pinggir yang dulunya merupakan jalan utama telah berganti rupa akibat pelebaran jalan. Pemilik rumah pun terpaksa membongkar bagian depan rumahnya. ”Alhasil sedikit demi sedikit tapi pasti, rumah kuno bernuansa Cina semakin terkikis,” katanya. Tokoh Pecinan Semarang, Jongkie Tio mengemukakan, ke­datangan aneka etnik dan usaha telah merubah stelsel pecinan. Arsitek asli pun mulai hilang. Misalnya di Jalan Petudungan, rumah berderet atau rumah renteng asli cina di wilayah itu telah hilang. Bahkan, hotel pertama di Semarang kini tak ada lagi. Tandon berukuran besar sebagai penampung air dari Siranda ke Pecinan pun kini juga tak berbekas.

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *