.

Ngisor Asem : Kampung Bakso - Jamu Tinggal Nama

LIRIH canda tawa anak-anak kecil menghiasi suasana di sekitar Masjid Baiturrahmah Jalan Menoreh Utara IX Sampangan. Sementara ibu-ibu asik bercerita di depan rumahnya. Sesekali sepeda motor melintas pelan melewati gang sempit dengan lebar satu meter. Di beberapa rumah, bersandar gerobak bakso yang kosong melompong. Tidak tampak aktivitas membuat bakso atau bahkan menjualnya. Menurut warga sekitar, para perajin bakso tersebut sedang libur dan pulang ke kampung halamannya. Ya, dulu daerah tersebut menjadi salah satu pusat perajin dan pedagang bakso yang didominasi kaum adam. Adapun sang istri sebagai perajin dan pedagang jamu tradisional. Warga sekitar kemudian menamakannya kampung bakso-jamu. Tepatnya di era 90-an, setelah terjadi banjir bandang di Sampangan, banyak pendatang dari luar Semarang bermunculan. Daerah yang dulu bernama Ngedangan (berasal dari bahasa Jawa gedang yang berarti pisang) berubah menjadi pemukiman padat. ”Dulu hampir seluruh keluarga adalah pedagang bakso dan jamu. Mungkin mereka memang sudah menjualnya sejak di kampung halaman. Beberapa mereka berasal dari satu daerah salah satunya Solo, ada pula yang masih satu kerabat,” kata Ketua RT IX RW I Sampangan Moh Ngisom. Dia menuturkan, setiap sore, mereka mengintari daerah sampangan untuk menjajakan dagangan. Untuk penjual bakso, biasanya menggunakan gerobak dorong. Sedangkan penjual jamu menggendongnya berkeliling. Ada pula yang mengayuh sepeda sambil membunyikan lonceng untuk menarik perhatian. 
Namun, seiring perkembangan zaman dan bertambahnya penduduk, kampung tersebut tak lagi didominasi penjual bakso dan jamu. Beberapa di antaranya sudah beralih  menjadi pedagang soto dan mi jawa dan ada pula yang pindah ke daerah lain. Kemajuan teknologi juga memudahkan masyarakat untuk meminum jamu dari kemasan yang diproduksi pabrik. Hal itulah yang terus mendesak kehidupan pedagang jamu tradisional. Isu adanya borak dan daging celeng dalam bakso juga membuat beberapa pedagang gulung tikar. Tak pelak, hanya beberapa penjual bakso dan jamu yang masih bertahan hingga sekarang. Beberapa dari mereka memilih beralih profesi. Ada pula yang pulang ke kampung halaman. Rumah-rumah sewa yang ditinggalkan dibangun menjadi lebih megah oleh pemiliknya. Sebagian dijual ke pendatang baru. ”Sekarang harga tanah semakin melonjak. Beberapa yang pedagang pun terpaksa pengsiun dan pulang kampung. Kini kehidupan semakin heterogen. Beberapa penduduk yang datang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, pengusaha dan lain sebagainya,” tandas Moh Ngisom yang juga guru SD Almadina Semarang.


Formulir Kontak

Name

Email *

Message *