.

Sepak Terjang Para Penyelamat Ngesti Pandowo


Ramai-Ramai Berjuang Melawan Kepunahan
14 Juli 2012

image


Ngesti Pandowo pada 1 Juli lalu genap berusia 75 tahun. Ada banyak persoalan yang disandang komunitas wayang orang yang lahir di Madiun pada 1937 ini. Selain diadang masalah manajemen, regenerasinya juga mandek. Benarkah 10 tahun lagi  Ngesti Pandowo akan punah? Bagaimana mengatasi persoalan itu?
TIDAK seperti hari-hari biasa Widayat, sutradara Ngesti Pandowo, Jumat (13/7) sejak pukul 13.00 begitu sibuk mempersiapkan tak kurang 40 anak wayang untuk geladi bersih lakon Srikandi-Larasati Kembar di Gedung Ki Narto Sabdho, Taman Budaya Raden Saleh, Semarang.  Latihan itu perlu digelar agar ada kesamaan persepsi karena mereka akan pentas bersama para bintang tamu.
Tak tanggung-tanggung saat itu memang para sosialita dan tokoh publik dari Jakarta seperti Enny Soekamto, Yani Arifin, Giok Hartono, Aylawati Sarwono, Endang Gatot, Sarah Arifin, Astari Rasyid, Kelly Humardani, Prasanti, dan Ninok Leksono bergabung dengan Widayat dan kawan-kawan. Juga bersama koreografer dan komedian Didik Nini Thowok (Yogyakarta), Kenthus dan Gendis (Wayang Orang Bharata, Jakarta), Ali Marsudi dan Ida (Wayang Orang Sriwedari, Surakarta), lakon ini akan dimainkan secara istimewa.
“Karena melibatkan banyak pemain yang bukan awak wayang, pertunjukannya disajikan secara populer, simpel, dan mudah diterima awam, tetapi tanpa meninggalkan keadiluhungan. Saya juga mengolaborasikan tontonan ini dengan wayang kulit,” kata Widayat.
Penyajian secara populer pertunjukan ini terlihat juga dari puluhan baliho jumbo bergambar para sosialita Jakarta berkostum wayang yang dipasang di sepanjang Jalan Sriwijaya, berdekatan dengan lokasi pertunjukan. Gambar-gambar mencolok itu tentu menarik perhatian publik.
Mengapa  tontonan ini dipersiapkan secara heboh? Sekadar tahu, pertunjukan yang bakal disajikan hari ini pukul 20.00 memang bukan pergelaran biasa. “Lakon ini kami mainkan untuk memperingati ulang tahun ke-75 Ngesti Pandowo.  Kami harus bisa menunjukkan kepada masyarakat betapa mereka masih memiliki grup wayang wong yang patut dibanggakan,” tutur Cucuk Sastrosoedirdjo, Ketua I Pengurus Ngesti Pandowo, Semarang.
Harus Ditolong
Apakah dalam kehidupan sehari-hari Ngesti Pandowo memang dapat dibanggakan? Hari-hari ini, dengan harga tiket Rp 10 ribu setiap Sabtu pertunjukan mereka bisa menyedot 75-100 penonton dari 300 kursi yang disediakan. 
Meskipun para anak wayang menyebut jumlah ini sebagai lumayan, sesungguhnya komunitas yang lahir di Madiun pada 1937 ini hingga 1954 di berbagai kota setiap hari ditonton  oleh ratusan pengunjung. Juga pada 1954-1996 saat main di GRIS  penonton masih cukup banyak, lalu menyusut pelan-pelan, hingga pada 1996-1998 hanya ditonton 10-20 pemirsa.
“Karena itulah Ngesti Pandowo masih perlu ditolong. Hanya, saya berharap orang-orang Ngesti Pandowo sendiri harus bisa meyakinkan siapa pun agar mereka mau menolong. Jangan sampai ada kesan Ngsti sulit atau memang tidak mau ditolong,” kata budayawan Jaya Suprana yang sukses menggelar Wayang Orang Indonesia Pusaka ke Sydney Opera House, Sydney, Australia.
“Manajemen mereka harus transparan. Jangan menyalahgunakan bantuan untuk kepentingan pengurus. Mereka yang mau membantu akan jera kalau bantuan mereka tak sampai sasaran,” kata Aylawati Sarwono, Direktur Jaya Suprana School of Performing Art, salah satu pendukung acara ini.
Sebenarnya Ngesti Pandowo sejak didirikan oleh Ki Sastro Sandho, Ki Narto Sabdho, Ki Darso Sabdho, Ki Sastro Soedirdjo, dan Ki Kusni, selalu mendapat perhatian lebih dari para pecinta. Pada 1962, misalnya, mereka mendapat Piagam Widjajakusuma dari Presiden Sukarno. Tentu bukan hanya pujian, tetapi juga dana. Kini, mereka juga beruntung karena, menurut Bagyo Gareng, salah satu motor penggerak Ngesti Pandowo, komunitasnya telah dibantu oleh tokoh-tokoh semacam Jaya Suprana, Yani Arifin, Giok Hartono, Prof dr Edi Dharmana, Prof Hardhono Susanto, atau Benita Arijani. “Mereka layak disebut sebagai penyelamat-penyelamat yang membuat Ngesti Pandowo hidup lebih lama.”
Bahaya
Akan tetapi persoalan Ngesti Pandowo tidak hanya bersandar pada bantuan keuangan. “Sepuluh tahun lagi Ngesti Pandowo bisa punah. Regenerasi tidak berjalan. Mencari pemain putra sulit, apalagi pemain putri. Uang saja tidak bisa menyelamatkan. Perlu bantuan pemain dari luar Ngesti,” kata Bagyo Gareng.
Mengapa regenerasi tidak jalan? “Kebanggaan anak-anak muda di bawah saya untuk menjadi anak wayang sudah tidak ada lagi. Mereka lebih memilih pekerjaan lain. Saya memaklumi. Penghasilan sebagai anak wayang memang tidak mencukupi,” jelas Widayat.
Karena itu, apa yang mendesak dilakukan? “Kesenian ini memang harus disubsidi. Tidak mungkin mendapat penghasilan dari duit pengunjung. Pemerintah kota jangan tinggal diam. Harus ada bantuan dalam bentuk apa pun,” kata Bagyo Gareng.
“Para pimpinan jangan bermental juragan. Swastakan saja komunitas ini sehingga honorarium jelas,” tutur Widayat.
Adapun Edi Dharmana meminta agar Ngesti Pandowo berjuang memperbaiki manajemen agar memperoleh bantuan dari banyak pihak. 
Tak hanya itu. Bentuk pertunjukan juga harus nuting jaman kelakone. “Cerita tidak boleh bertele-tele, perlu kisah-kisah terobosan, dan pemadatan-pemadatan,” kata Widayat.
Jika semua itu bisa dilakukan sanggupkah mereka bertahan? Djoko Sungkono, salah satu pemain yang kini berusia 61 tahun, yakin Ngesti Pandowo tidak akan mati. “Asal kami kompak dan tetap punya semangat nguri-nguri Ngesti Pandowo tak akan mati.”
Kematian atau kepunahan memang tak terhindarkan, tetapi dalam kasus Ngesti Pandowo, mungkin bisa ditunda. Setidak-tidaknya hingga 5, 10, 15  tahun, atau....
Sudahlah, mari sekarang kita nikmati dulu Srikandi-Larasati Kembar malam ini.

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *