Pemukiman Bangsawan yang Jadi Pangkalan Gilo-Gilo
Gilo-Gilo Khas Semarang |
DAHULU, nama Kampung Kulitan dikenal karena menjadi kediaman Tasripien,
tuan tanah dengan jumlah kekayaan yang tak terbilang. Seiring dengan meredupnya pamor ”dinasti” Tasripien, popularitas kampung
di wilayah Kecamatan Semarang Tengah atau berada di kawasan Jalan MT Haryono
itu pun tetap tidak hilang. Reputasi nama kampung pun kembali besar setelah awal 1960-an. Para
perantau asal Klaten dan Sukoharjo menghuni kawasan itu. Bersama Kampung
Gandhekan, Kulitan dikenal menjadi pangkalan gilo-gilo terbesar di Kota
Semarang. Tak kurang dari 80-an orang pedagang tinggal di kedua kampung yang
bersebelahan itu. Setiap hari, mereka berkeliling menjajakan gilo-gilo ke sudut-sudut Kota
Semarang. Gilo-gilo adalah aneka makanan yang dijajakan pedagang dengan gerobak kayu yang
suka berkeliling atau mangkal di beberapa titik di Kota Semarang. Makanan yang
dijual di antaranya, buah nanas, pepaya, bengkoang, melon, semangka, pisang,
pisang goreng, singkong goreng, jadah goreng, bakwan, martabak pasar, bakwan,
onde-onde, molen pisang, bolang-baling, tahu goreng, tahu isi, tahu petis,
nagasari, sate kerang, sate telur puyuh, beberapa macam kerupuk dan masih ada
yang lain. Saat Suara Merdeka memasuki dua kampung, yang masih terlihat beberapa
rumah khas Semarangan yang kini dihuni cucu dan buyut Tasripien, Rabu (7/1)
pagi, terlihat kesibukan kaum ibu membuat penganan. Para pedagang menyiapkan dasaran, mulai dari merajang buah, membersihkan
gerobak dan mengisinya dengan aneka makanan. Gerobak-gerobak itu berjajar memenuhi jalan kampung yang tak seberapa
lebar. Beranjak siang, satu per satu mereka berkeliling menjajakan dagangannya.
Iki Lho
Suwarno (64) perantau asal Klaten, yang tinggal di Kampung Gandekan mulai
1966 dan berjualan gilo-gilo sejak 1981, menjelaskan, kata gilo-gilo berasal
dari kata ”gi lho”, yang merupakan transformasi dari ”iki lho” (ini lho). Atau,
sang penjual ingin membuktikan eksistensi diri bahwa ”Ini lho makanan dan
jajanan yang Anda cari.” ”Dulu, jumlah pedagangnya ada 80-an orang, sekarang sekitar 35 orang.
Semua pedagang pun mengontrak rumah milik keturunan Tasripien, termasuk saya,”
tutur Suwarno, atau yang akrab disapa Pak Badut, saat ditemui di Jalan MT
Haryono, kemarin.
Pedagang gilo-gilo sejak 1990, Kuslan (59) yang juga tinggal di rumah
milik Tasripien di Kampung Kulitan menambahkan, di Kampung Kulitan, sisa-sisa
kejayaan Tasripien masih terlihat. Di antaranya, tujuh rumah dengan bangunan
asli bergaya Semarangan dengan bahan baku kayu jati yang masih kokoh berdiri. ”Dulu, jalan masuk kampung di sini cukup lebar. Mobil pun bisa masuk.
Sekarang tidak bisa. Rumah-rumah di sini dulu ditempati kaum bangsawan.
Sekarang, selain menjadi pemukiman pedagang gilo-gilo, beberapa rumah ditempati
keturunan Pak Tasripien,” kata bapak dua anak dan tiga cucu itu, kemarin.