Dari Permukiman, Pertokoan, Kantor Bupati, sampai Jadi Pasar
CERITA Kanjengan tidak lepas dari bangunan pendapa Kabupaten Semarang
yang terakhir terlihat pada 1974, sebelum pindah ke Gunung Talang. Budayawan
Kota Semarang, Djawahir Muhammad menuturkan, beragam kenangan di bekas kantor
bupati di bawah (sekarang Pasar Kanjengan), itu sebelumnya berdiri bangunan
yang terdiri atas kayu jati dengan gaya limasan, termasuk lantainya terbuat
dari kayu. Setelah dipindah Kantor Bupati Semarang sekitar 1975, dia beserta
anggota Teater Kuncup aktif latihan di Pendapa Gunung Talang, mengingat
daerahnya mendukung untuk berkegiatan seni. ’’Latihan teater kami gelar di
sana, termasuk Ki Narto Sabdo pernah memainkan pergelaran wayang di bangsal
Pendapa Kanjengan di Gunung Talang sebelum roboh ditiup angin,’’ tuturnya.
Untuk mengembalikan kenangan Kanjengan dan perjalanan sejarah, dia dan
budayawan Semarang lainnya mencoba membangun dengan membuat skenario dugderan
2004-2005. ’’Kami mencoba membawanya kembali ke tempo dulu yakni dengan mencoba
merekonstruksi seperti semula. Kanjeng Bupati berjalan dari Kanjengan menuju ke
Masjid Agung Semarang kemudian meninjau area dugderan,’’ terangnya. Pria yang
lahir di Jalan Petek 1 Semarang itu menyampaikan jika tradisi tersebut hanya
bertahan 2 tahun.
Pemkot pun bisa menangkap tradisi Kanjengan bukan sebagai
budaya feodalisme. Tidak seperti sekarang yang hilang karena mengacu pada
hitungan waktu tanpa nafas tradisional. Soal pembongkaran Pasar Kanjengan, dia
berpendapat seharusnya jangan dibongkar karena mengacu pada azas manfaat dan
penghematan anggaran. Sony Rohani (74), warga Kauman, saat ditemui hanya
mengisahkan sejarah Pasar Kanjengan dari yang ia lihat dan diceritakan ayah
maupun kakeknya. Saat ditemui di kediamannya di Jalan Jonegaran Nomor 263,
samping Kantor Kelurahan Bangunharjo, dia menunjukkan bukti-bukti bahwa
Kanjengan dulunya adalah pusat pemerintahan Kabupaten Semarang dengan Bupati
Raden Tumenggung Tjokrodi Poero. ’’Kanjengan dulunya kantor bupati Semarang,
bersebelahan dengan kantor pemerintahan Belanda (sekarang Kota Lama-red) yang
dilengkapi dengan Alun-alun, Masjid Gede dan Pasar Johar,’’ ujarnya. Pusat
pemerintahan Semarang tersebut kemudian dipindah oleh Pemkot Semarang,
mengingat Bupati Semarang waktu itu masih keturunan Ki Ageng Pandanaran tidak
ada penerusnya. Tanah kabupaten kembali ke Pemkot, maka Wali Kota memegang
kendali termasuk mempergunakan aset-asetnya. Ini dibuktikan dengan Surat
Perjanjian bernomor Sok 2c/5/16/NasÃ74 tertanggal 11 Juni 1974. Surat itu
berisi 10 pasal kesepakatan antara Hadijanto Wali Kota Semarang dan Sartono
Sutandi selaku Direktur Utama PT Pagar Gunung Kencana (PGK). Isinya menyebutkan
jika tanah Kanjengan akan dikosongkan kemudian dibangun pertokoan dan
perumahan, otomatis kantor bupati dan kediamannya dicabut begitu saja ke
Sampangan. ’’Pohon beringin kerdil yang tumbuh di antara Blok E dan F Kanjengan
dulunya merupakan halaman depan kabupaten. Setelah ada surat perjanjian antara
wali kota dan PT PGK, semua aktivitas bupati dipindah ke area Gunung Talang,
Sampangan,’’ katanya.