DULU, Kulitan merupakan kampung terkenal di Semarang. Kampung yang
terletak di bilangan Jl Mataram itu menjadi tempat kediaman Tasripien, tuan
tanah dengan jumlah kekayaan tak berbilang. Seiring meredupnya pamor dinasti Tasripien, popularitas Kulitan berangsur
surut. Kini, kampung tersebut membangun reputasi baru. Bersama Kampung
Gandhekan, Kulitan menjadi pangkalan gilo-gilo terbesar di Kota Semarang. Tak
kurang dari 60 orang pedagang tinggal di kedua kampung yang bersebelahan itu. Mengunjungi Kulitan dan Gandhekan pada pagi hari, kita akan melihat sebuah
kegairahan. Kaum ibu membuat penganan. Para pedagang menyiapkan dasaran, mulai
dari merajang buah, membersihkan gerobak dan mengisinya dengan aneka makanan.
Gerobak-gerobak itu berjajar memenuhi jalan kampung yang tak seberapa lebar.
Beranjak siang, satu per satu mereka turun ke jalan. Keberadaan pedagang gilo-gilo di Kampung Kulitan dan Gandhekan ada sejak tahun
1960-an. Mula-mula hanya beberapa orang. Mereka yang hampir seluruhnya perantau
asal Sukoharjo dan Klaten menjual gilo-gilo menggunakan pikulan. Memasuki 1970-an, jumlah pedagang gilo-gilo di Kulitan dan Gandhekan bertambah.
Selain kaum boro, warga asli kampung tersebut juga ikut-kutan berjualan. Salah
satunya Suroto (53). Pada masa itu, penjual gilo-gilo mulai mengganti
pikulannya dengan gerobak. Kondisi jalan kampung yang relatif baik menjadi
pemicu peralihan tersebut. “Dibanding masa sebelumnya, jenis makanan yang dijual cenderung bertambah.
Kalau sebelumnya lebih banyak jenis buah-buahan, waktu itu ditambah penganan
seperti tahu susur, martabak, lumpia, dan saren,” ujar Suroto.
Rumah Sewa
Para pedagang tinggal berdesak-desakan di beberapa rumah sewa. Satu rumah bisa
diisi sepuluh orang. Sementara gerobak, selain diparkir di jalan juga
ditempatkan di sebuah bangunan bekas kantor Kelurahan Jagalan. Selama puluhan tahun, bisnis gilo-gilo di Kampung Kulitan dan Gandhekan telah
menciptakan sistem tersendiri. Jika pedagang kebanyakan kaum boro, pembuat
penganan adalah warga asli. Pedagang tinggal mengambil penganan yang mereka
jual, tanpa perlu repot-repot membuat sendiri. Selain sistem, mereka juga punya semacam ‘’kode etik’’ untuk menghindari
persaingan tak sehat. Pembuat penganan memproduksi jenis yang tak dibikin
pembuat lain. Sedangkan pedagang, memiliki rute dan tempat berjualan yang
berbeda dari pedagang lain. “Kalau yang satu bikin gethuk pisang, yang lain arem-arem, timus, agar-agar,
sate keong, atau lunpia. Sedangkan pedagang harus punya rute berjualan sendiri.
Kalau pun sama, waktunya harus beda. Saat magang, seorang pedagang baru diberi
pengertian soal kode etik itu.”
Sumber : Dari Kampung Tasripien