KOTA Semarang yang menurut kajian van Bemmelem dibangun di atas
bekas lautan, menyimpan potensi banjir relatif besar. Sejarah mencatat, kota
ini kerap dilanda banjir tahunan. Banjir, terutama berasal dari luapan air Kali
Garang. Kita bisa mengetahui hal itu dari literatur, baik dokumen maupun buku. Namun,
ada sebuah artefak yang memberi gambaran lebih riil mengenai sejarah banjir di
Kota Semarang. Itulah penanda di Pleret Banjirkanal Barat. Ia terdapat di pintu
air yang menjadi pembatas Kaligarang dengan Kali Semarang. Wujud artefak itu semacam grafik, dengan garis-garis horizontal berwarna merah
yang dilengkapi deretan angka. Garis-garis merupakan penanda tinggi muka air
Kali Garang dari masa ke masa. Seluruhnya melampaui batas ketinggian bendungan. Garis terbawah berketerangan: ”25.12.06 + 890”. Di atasnya berturut-turut:
”22.1.1976. SP+ 925”, ”30.1. 1993. SP+930”, ”28.3.1922. SP+930”, ”10.1.1963.
SP+940”, dan ”25.1.1990. SP+945”. Dari grafik itu kita bisa mengetahui banjir
bandang di Semarang berturut-turut terjadi pada tanggal 28 Maret 1922, 10
Januari 1963, 22 Januari 1976, 25 Januari 1990, dan 25 Desember 2006.
Siklus
Angka-angka tersebut juga menunjukkan adanya siklus banjir bandang, yang terjadi dalam kurun sekitar 15 tahunan. Banjir dengan skala paling kecil terjadi pada 25 Desember 2006. Saat itu tinggi muka air 890 cm dari dasar sungai. Sedangkan banjir terbesar pada 25 Januari 1990. Air Kaligarang meluap dengan ketinggian mencapai 945 cm dari dasar sungai. Seperti kita tahu, banjir tahun 1990 merupakan salah satu bencana terburuk yang pernah terjadi di Semarang. Saat itu, Kali Garang ”mengamuk” dan meluluhlantakkan daerah di sekitarnya. Air setinggi 3 meter menyapu permukiman warga selama kurang lebih 4 jam. Lantaran terjadi pada malam hari, banyak warga yang menjadi korban. Tercatat, 47 orang meninggal dunia, puluhan bangunan hanyut dan ratusan lainnya rusak parah. Kerugian total ditaksir mencapai Rp 8,5 miliar. Daerah yang mengalami kerugian terbesar adalah Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. Ya, grafik di pleret Banjirkanal Barat itu menyerupai monumen yang menyimpan banyak kisah muram. Selain bencana dahsyat tahun 1990, ia juga merekam banjir-banjir lain yang berskala lebih ringan. Akankah ada garis horizontal baru yang lebih tinggi dari sekarang? Ah, semoga saja jangan!
Angka-angka tersebut juga menunjukkan adanya siklus banjir bandang, yang terjadi dalam kurun sekitar 15 tahunan. Banjir dengan skala paling kecil terjadi pada 25 Desember 2006. Saat itu tinggi muka air 890 cm dari dasar sungai. Sedangkan banjir terbesar pada 25 Januari 1990. Air Kaligarang meluap dengan ketinggian mencapai 945 cm dari dasar sungai. Seperti kita tahu, banjir tahun 1990 merupakan salah satu bencana terburuk yang pernah terjadi di Semarang. Saat itu, Kali Garang ”mengamuk” dan meluluhlantakkan daerah di sekitarnya. Air setinggi 3 meter menyapu permukiman warga selama kurang lebih 4 jam. Lantaran terjadi pada malam hari, banyak warga yang menjadi korban. Tercatat, 47 orang meninggal dunia, puluhan bangunan hanyut dan ratusan lainnya rusak parah. Kerugian total ditaksir mencapai Rp 8,5 miliar. Daerah yang mengalami kerugian terbesar adalah Kecamatan Semarang Barat dan Semarang Selatan. Ya, grafik di pleret Banjirkanal Barat itu menyerupai monumen yang menyimpan banyak kisah muram. Selain bencana dahsyat tahun 1990, ia juga merekam banjir-banjir lain yang berskala lebih ringan. Akankah ada garis horizontal baru yang lebih tinggi dari sekarang? Ah, semoga saja jangan!
Sumber : Monumen Banjir Bandang Semarang